Sebut saja namanya Pak Endar, beliau adalah guru matematika saya sewaktu SMA dulu. Beliau ini adalah guru yang sangat disegani, ditakuti, sekaligus disukai murid-muridnya. Terasa ganjil memang, ada guru yang ditakuti sekaligus disukai. Tapi, saya tidak mengada-ada. Faktanya, dalam pemilihan guru favorit versi siswapun beliau meraih suara terbanyak, keluar sebagai pemenang.
Banyak cerita menarik tentang guru matematika SMA saya itu. Salah satu contohnya begini. Waktu itu, seingat saya, beliau mengajar tentang geometri dimensi tiga. Seperti biasa beliau mengajari kami dengan gaya khasnya. Penjelasannya, bagi saya, begitu rinci dan dapat dimengerti. Cara penyampaian pelajarannya juga tidak monoton. Tidak melulu materi pelajaran. Seringkali diselipi nasihat-nasihat yang sangat mengena, tepat penyampaiannya. Walau beliau terkesan orang yang sangat serius, kelihatan galak, dan sedikit bicara, namun celetukan-celetukannya seringkali mengundang gelak tawa siswa-siswanya, padahal beliau sendiri tidak ikut tertawa, ya “datar” saja mukanya (istilah kami waktu itu, lempeng-lempeng saja).
Oh iya, kembali ke cerita menarik waktu itu. Setelah memberi contoh soal tentang geometri, dan memberi latihan ke kami. Beliaupun tak lupa memberi PR. Waktu itu, beliau cukup banyak memberi kami PR. Katanya begini, “Untuk PR, kerjakan latihan 2 dan latihan 3 semuanya. Besok dikumpulkan!” Kemudian, salah seorang teman saya waktu itu, sebut saja namanya Marni, bertanya begini. “Pak, PR-nya ditulis di kertas folio polos atau folio bergaris?” Pak Endar tak menjawab, tak menggubris pertanyaan Marni, karena sedang beres-beres (membereskan buku dan alat tulis yang baru saja dipakai) untuk segera pergi meninggalkan kelas. Marni mengulangi pertanyaannya, “Pak, PR-nya ditulis di kertas folio polos atau folio bergaris?” Lagi-lagi, Pak Endar tidak menghiraukannya. Maklum, teman saya ini terkenal cerewet dan sering bertanya. Marni tak putus asa, dan bertanya hal yang sama. Lagi-lagi, Pak Endar masih diam. Kemudian, sambil beliau berlalu meninggalkan kelas, Marni masih tetap bertanya lagi hal yang sama. Tepat di muka pintu, sambil pergi Pak Endar menjawab pertanyaan Marni, “PR-nya ditulis di… kulit bedug!” Sontak, kami sekelas tertawa terbahak-bahak. Hahahahahaha…. Eits, cerita belum selesai.
Keesokan harinya, PR pun dikumpulkan (tentunya tidak ditulis di kulit bedug, tapi di kertas folio bergaris atau polos). Seperti biasa juga, Pak Endar menjelaskan materi selanjutnya. Kali ini juga beliau memberi kami PR. Katanya begini, “Untuk PR, kerjakan sisa latihan 4 dan latihan 5 semuanya. Minggu depan dikumpulkan!” Setelah berkata begitu, Marni bertanya, “Pak PR-nya ditulis di kertas folio bergaris ya?” Seperti biasa juga, Pak Endar tak langsung menjawab. Pertanyaan ini pun diulangi Marni beberapa kali. Lagi-lagi Pak Endar, tak langsung menjawab. Ada teman saya yang lain, sambil becanda nyeletuk ke Marni. “PR-nya ditulis di kulit bedug!” Marni tak hirau dengan celetukan teman saya itu. Kemudian, sambil menunggu waktu selesai pelajaran, beliau sedikit memberi nasihat dengan sedikit obrolan ringan. Hingga waktu pelajaran pun hampir selesai. Beliaupun segera beres-beres dan akan berlalu meninggalkan kelas. Ketika hampir keluar kelas, Marni masih sempat bertanya hal yang sama. Tepat di muka pintu pula, sambil berlalu pergi, Pak Endar menjawab pertanyaan Marni, “Ditulis di… tripleks!” Hahahahahaaa…. Tawa pun meledak dengan kerasnya, dan untuk beberapa saat menggoncang ruangan kelas kami. Cerita tadi, hanya secuil kenangan, dari seorang guru yang saya idolakan. Masih banyak cerita-cerita lain yang tentunya tak kalah menariknya.
Nah, bagaimana menjadi sosok guru matematika yang diidolakan itu? Sekurang-kurangnya, guru idola itu memenuhi kriteria: (1) menguasai materi matematika yang akan diajarkan ke siswanya; (2) menguasai cara mengajarkan matematika ke siswanya; dan (3) mengajar dengan ikhlas. Lho…, kok cuma sedikit sih? Sabar sebentar. Penjelasannya begini.
Yang pertama. Guru matematika sepantasnya = selayaknya menguasai materi matematika yang akan diajarkan ke siswanya. Apa jadinya bila guru matematika tak menguasai materi yang akan diajarkannya? Harus diakui memang, kata “menguasai materi” itu juga relatif. Untuk itu, agar semakin menguasai materi matematikanya, guru juga sepertinya perlu belajar. Mau menambah pengetahuan dari mana saja. Mau meningkatkan diri. Tidak berpuas diri dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Tidak berbangga diri dengan lamanya pengalaman berkiprah di dunia “ajar-mengajar”. Sederhananya, mau memperbaiki diri. Jangan sampai ada celetukan begini, “Wah Pak Anu atau Bu Inu itu ngajarnya tiap tahun, begitu-begitu saja, catatannya sama, obrolannya sama, lawakannya sama, sampai titik komanya yang ditulis di catatan siswa juga sama.” Oh iya, menguasai materi saja juga sepertinya belum cukup. Karena katanya, banyak guru yang ngajarnya seperti ngobrol dengan papan tulis. Gurunya asyik ngobrol, siswanya apalagi.
Yang kedua. Guru matematika idealnya bisa menyampaikan materi matematika ke siswanya. Bisa menggiring siswanya untuk belajar dengan enak, santai, rileks, dan menyenangkan. Untuk itu, katanya, guru perlu menguasai dan mempraktikkan macam-macam pendekatan pembelajaran supaya materi yang disampaikannya efektif tersampaikan; menyadari bahwa siswa juga manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda; memahami bagaimana siswa belajar matematika; dan menyadari bahwa matematika adalah juga bagian dari aktivitas manusia. Dan tentunya, masih banyak lagi yang lainnya. Silakan ditambahi!
Pendapat saya sebagai siswa. Saya mengidolakan guru matematika yang mampu menunjukkan kaitan matematika itu dengan kehidupan nyata. Bukan hanya aplikasi materi matematika secara langsung saja (misal penerapan materi: aritmetika (+, - , :, x, ) dalam perdagangan), tapi fenomena-fenomena hidup pun bisa dijelaskan dengan matematika secara sederhana.
Saya juga menyenangi guru matematika yang bisa menyelipkan nasihat-nasihat, cerita, humor, anekdot, bukan hanya materi matematika saja yang disampaikan. Bila hanya materi matematika saja, bisa bosan, hambar rasanya, tak segar pikiran ini dibuatnya. Matematika seperti terlepas dari kehidupan manusia. Matematika seperti bukan bagian aktivitas manusia. Karena saya menyenangi guru yang bisa seperti ini, waktu itu, saya sering membuat catatan pinggir di buku matematika saya, bisa berupa: cerita-cerita, nasihat, humor, kisah, kejadian di kelas, atau yang lainnya. Bila catatan saya itu dibaca, pikiran saya seperti menembus ruang dan waktu, menerawang, dan mengenang kejadian waktu itu.
Oh iya, saya juga suka guru matematika yang serius, tapi kreatif, sering menyelipkan pertanyaan matematika sebagai selingan dan atau pancingan. Selingan ini bisa disampaikan di awal pembelajaran, di tengah pembelajaran, atau di akhir pembelajaran. Contoh pertanyaan selingan itu seperti ini.
Seekor kodok, jatuh ke dalam lubang yang dalamnya 10 meter. Untuk bisa keluar dari lubang tersebut, tentu sang kodok berusaha memanjatnya. Dalam sehari yang bisa dilakukannya adalah: di waktu siang, sang kodok bisa naik 3 meter, tapi di malam hari karena dingin, licin, dan sambil menangkapi nyamuk untuk disantap dia terperosok lagi 2 meter. Begitu setiap harinya. Berapa hari sang kodok bisa keluar dari lubang tersebut?
Ketika pertanyaan ini disampaikan, waktu itu saya bukan siswa SD lagi, banyak teman saya dengan cepat (kurang dari satu menit) menjawabnya. Jawaban mereka waktu itu adalah **** hari. Saya pun ikut-ikutan menjawab **** hari. Tapi, anehnya guru saya seperti tak puas dengan jawaban kami. Setelah saya pikir pelan-pelan, saya baru sadar kenapa guru saya itu tak puas dengan jawaban teman-teman saya itu. Akhirnya, setelah beberapa saat, ada teman saya yang bisa menjawabnya dengan benar. Ayo…. apa jawabannya?
Yang ketiga. Ikhlas. Satu kata yang mudah diucapkan, namun sukar dilakukan. Sukar pula dilihat indikatornya. Kata orang, berbuat ikhlas untuk suatu aktivitas (ibadah) itu seperti aktivitas membuang kotoran diri sendiri. Nah, yang saya maksud ikhlas di tulisan ini adalah bahwa: aktivitas mengajar (pembelajaran) yang dilakukan guru itu perlu dilandasi dengan niat ibadah. Dengan niat seperti ini, katanya, mengajarpun akan terasa enjoy alias menyenangkan, dan siswa pun akan enak juga dibuatnya. Bila dilandasi niat seperti ini juga, katanya, menjadi guru (matematika) itu akan merupakan suatu pekerjaan yang membahagiakan, di dunia dan insya Allah di akhirat kelak. Betul?
Catatan:
Tulisan di atas, masih sangat mungkin untuk dilengkapi (maklum masih “melarat = miskin yang semiskin-miskinnya” pengalaman). Saya menulis ini untuk sementara hanya se”kenanya?”; hanya menurut “gosip-gosip” yang pernah saya dengar; hanya dari sudut pandang sempit saya saja; hanya menurut angan-angan saya saja yang tentunya masih banyak ngawurnya (makanya judulnya ada kata “Impian” segala); dan hanya-hanya yang lain. Jadi, bila tulisan ini tak lengkap dan mengandung kata-kata yang kurang berkenan, mohon maaf saya perlu katakan untuk ibu-bapak guru sekalian, khususnya guru matematika.
=========================================================
Sumber http://mathematicse.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar